JAKARTA, derapguru.com – Hiperealitas menjadi tantangan di era digital. Informasi yang saling bertumpuk antara yang real dan simulacrum membuat masyarakat akan terjebak kebingungan antara untuk membedakan mana yang asli dan mana yang semu.
Hal tersebut disampaikan oleh Dewan Pakar Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (Aspikom) Rudy Harjanto melalui rilis resmi, kamis 8 Desember 2022.
“Hiperealitas seringkali mempertentangkan simulasi dan representasi. Simulasi adalah ‘simulacrum’ dalam pengertian khusus, dalam pengertian bahwa sesuatu tidak menduplikasi sesuatu yang lain sebagai model rujukannya, akan tetapi menduplikasi dirinya sendiri,” papar Rudy.
Rudy juga menyampaikan bahwa hiperealitas bisa lahir dari melimpahnya informasi di media sosial. Hiperealitas muncul lewat kemampuan menambahkan informasi pada informasi yang telah disampaikan orang lain dalam berbagai aplikasi.
“Para pengguna di aplikasi yang sama dapat melengkapi atau bahkan mengurangi konten yang bertentangan dengan pandangannya,” jelas Rudy.
Peluang untuk memberikan informasi tambahan ini, lanjut Rudy, membuka peluang bagi khalayak untuk mendapatkan dua sumber informasi. Pertama, dikendalikan pemilik akun aplikasi. Kedua, yang di luar kendali pemilik akun aplikasi. Dua kendali tersebut berpotensi menghasilkan informasi real (asli) dan informasi simulacrum (semu).
Perbedaan informasi ini berpotensi mengubah penilaian, daya tarik, dan kredibilitas konten. Jika informasi ini saling bertentangan, maka akan sulit untuk menarik kesimpulan tentang apa sebenarnya isi informasi yang ingin disampaikan dan berpotensi menjadi hiperealitas.
“Gaya hidup, citra, dan pembentukan personalitas yang selama ini ditampilkan lewat media sosial dan internet dipandang indah para penggunanya. Padahal, kata dia, kenyataannya tidak semua yang ditampilkan tersebut merupakan realitas yang sebenarnya,” tandas Rudy.
Kenyamanan yang diperoleh dalam dunia maya mungkin saja berbanding terbalik dengan kondisi di dunia nyata. Akibatnya, seseorang akan lebih memilih kehidupan di dunia maya ketimbang kehidupan sosialnya.
“Kita mungkin kini lebih percaya diri tampil di media sosial karena hadirnya aplikasi yang dapat mempercantik wajah dengan berbagai macam fiturnya. Hal itu disebabkan karena mereka mampu menunjukkan eksistensi mereka yang seperti tanpa celah, cantik/tampan, baik hati, bijak, dan disegani,” terang dia.
Dewasa ini, lanjut Rudy, semakin sulit untuk membedakan mana kebenaran dan kebohongan dalam dunia maya karena diterjemahkan ke dalam perilaku sosial. Sementara, efek utama dari karakteristik kepribadian dan situasi pada kemampuan bersosialisasi sudah memberikan efek interaksi kepada orang lain, dalam interaksi sosial kehidupan dan situasi nyata.
Rudy mengakui jika digitalisasi dalam proses komunikasi melahirkan pandangan dua sisi sebagai pendukung kemajuan dan sebaliknya. Selain itu, teknologi sebagai penghambat pertumbuhan dan perkembangan.
Kedua sisi ini menyebabkan persepsi informasi yang sering membuat khalayak lebih rentan terhadap salah tafsir. Hal ini memudahkan kesalahpahaman satu sama lain, terutama ketika berinteraksi dengan orang lain.
Menurut dia, faktor kunci untuk menghindari dari kesalahpahaman dalam berinteraksi dengan orang lain adalah menggunakan metode komunikasi dengan pengkajian untuk memilah, memilih, dan menyampaikan konten komunikasi yang baik, benar dan bermanfaat, secara persuasif. Penggunaan metode ini sebaiknya dilakukan bersama-sama secara konsisten. (za)