Agenda: Audiensi Guru Kebutuhan Khusus Kab Batang Reporter: Tim Redaksi
SEMARANG, derapguru.com – Salah satu alasan yang mengemuka pada sulitnya pemenuhan formasi guru dalam PPPK adalah masalah penggajian atau pendanaan untuk proses pengangkat guru. Bila isu tersebut benar, semestinya ada solusi rekrutmen yang tidak terlalu membebani anggaran pemerintah.
Solusi tersebut adalah melakukan rekrutmen dengan mengangkat para Guru Tidak Tetap (GTT)/Guru Honorer dan Pegawai Tidak Tetap (PTT)/Pegawai Honorer yang ada di instansi pemerintah untuk jadi PPPK.
Pandangan sederhana tersebut disampaikan Guru SMK 1 Warungasem Kabupaten Batang saat melakukan Audiensi dengan PGRI Jawa Tengah di Gedung PGRI Jateng di Kawasan Jalan Dr Cipto Semarang, Jumat 14 Oktober 2023. Rizal merupakan salah satu guru berstatus GTT yang mengabdi di SMK 1 Warungasem Batang yang pada tahun ini tidak mendapatkan formasi untuk PPPK.
“Mestinya mengangkat GGT di sekolah negeri akan lebih hemat. Karena hanya tinggal sedikit menambahkan jumlah gaji kami. Reatif lebih membantu ketimbang membuka jalur umum yang pastinya akan memberikan gaji penuh,” tutur Rizal Lukman.
Lukman adalah salah satu perwakilan dari guru dan tenaga kependidikan dari Kabupaten Batang yang diantarakan langsung PGRI Kabupaten Batang untuk meminta bantuan PGRI Provinsi Jawa Tengah agar nasibnya diperjuangkan. Lukman bersama rekan-rekannya berharap, PGRI Jateng melalui jalur hierarki organisasi ataupun melalui jalur jejaring lainnya dapat membantu mereka untuk mendapatkan formasi khusus yang tidak mendapatkan formasi dalam rekrutmen PPPK tahun 2023.
Pelaksanaan PPPK, sampai saat ini memang masih terus berpolemik. Dalam sejarah perjalanannya, seleksi PPPK awalnya merupakan jalan bijak untuk mengatasi masalah penuntasan guru honorer yang banyak tersebar di sekolah negeri. Akan tetapi, melihat jumlah guru honorer yang hanya sekian ratus ribu guru, sedangan kebutuhan guru nasional mencapai satu juta, maka pemerintah membuka pula formasi umum untuk menggenapi.
Kebijakan pemerintah untuk membuka formasi umum justru menjadi malapetaka. Banyak guru honorer tidak lolos passing grade. Sedangkan banyak dari peserta umum yang lolos passing grade. Di sisi lain, pemerintah daerah yang diminta mengajukan formasi penuh juga hanya mengusulkan sebagian saja. Kekurangan guru tetap masih belum terpenuhi dan harus membuka seleksi PPPK lagi.
Alih-alih menuntaskan masalah yang belum tuntas, pemerintah malah membuat kebijakan baru. Guru-guru yang lolos passing grade PPPK tahun 2021—dengan dalih kualitas—dijadikan peserta Prioritas 1 (P1) yang akan diberikan jaminan langsung diterima pada seleksi PPPK berikutnya. Kebijakan ini membawa malapetaka kembali. Ada ribuan peserta P1 yang ternyata formasi guru di wilayannya ternyata masih dalam keadaan penuh. Honorer belum tuntas, muncul beban baru bernama P1. Tak hanya itu saja, peserta passing grade PPPK tahun selanjutnya juga meminta hak yang sama untuk “di-P1-kan”.
Rizal Lukman menuturkan, kedatangannya menghadap pengurus PGRI Jateng bersama kawan-kawannya adalah untuk meminta bantuan agar nasib para guru kebutuhan khusus diperjuangkan. Lukman mengatakan, di Kabupaten Batang ada sekitar 39 guru kebutuhan khusus yang bernasib sama sepertinya. Mereka berasal dari SMK 1 Warungasem sebanyak 7 orang, SMK 1 Batang 3 orang, SMK 1 Mblado sebanyak 5 orang, SMK Karangdemang sebanyak 9 orang, SMA 1 Batang sebanyak 2 orang, SMA 1 Subah sebanyak 2 orang, dam SLB Negeri sebanyak 8 orang.
“Kami mohon untuk diperjuangkan. Agar dalam formasi PPPK selanjutnya formasi untuk guru kebutuhan khusus dibuka. Formasi guru agama, guru SLB, dan guru-guru khusus lainnya. Kami juga berharap, pada seleksi tahun-tahun selanjutnya, rekan-rekan PTT agar dibukakan pula formasi untuk seleksi PPPPK,” tambah Rizal Lukman.
Ketua PGRI Batang, Arief Rahman SPd MPd, menyampaikan ada banyak persoalan yang dihadapi para guru dan tenaga kependidikan di wilayah Kabupaten Batang yang membutuhkan bantuan penyelesaian dari PGRI Provinsi Jateng. Akan tetapi, dalam audiensi kali ini, mereka sudah sepakat untuk tidak mengutarakan semua masalah, melainkan memfokuskan diri pada masalah PPPK saja.
“Kami batasi masalah audiensi pada PPPK saja dulu. Ya, hanya masalah PPPK saja. Kita selesaikan masalahnya satu-persatu. Masalah yang lain kita bahas pada kesempatan lain,” tutur Arief Rahman.
Lebih lanjut Arief Rahman menuturkan, masalah yang diaudiensikan para guru ini adalah banyaknya pelajaran kebutuhan khusus yang tidak diberi kuota dalam seleksi atau ada kouta tapi dipersyaratkan adalah guru P1 (guru lolos passing grade seleksi 2021 yang hanya tinggal daftar dan pemberkasan). Kondisi ini dirasa tidak adil bagi guru-guru P3 (guru honorer) yang semestinya menjadi fokus awal dari lahirnya formasi guru PPPK.
“Kuota guru PPPK di Jawa Tengah hanya 1500 orang. Padahal guru yang P1 saja sudah mencapai 5000 orang. Artinya, dengan jumlah itu, guru P1 saja masih kurang 3500 guru. Kuota ini juga membuat teman P3 (guru honorer) yang semestinya jadi prioritas, juga kehilangan kesempatan untuk ikut seleksi dalam PPPK tahun ini,” tandas Arief Rahman.
Ketua PGRI Jateng, Dr H Muhdi SH MHum, mengungkapkan, perjuangan PGRI untuk dibukanya seleksi PPPK sebenarnya ditujukan hanya untuk para guru honorer. Para guru honorer ini harus diperjuangkan nasibnya karena menjadi penopang utama sekolah pemerintah agar tidak kolaps karena kekurangan guru. Tapi di sisi lain, penghormatan atas status dan kesejahteraan mereka sangat diabaikan oleh pemerintah.
“Perjuangan PGRI untuk lahirnya seleksi PPPK memang untuk guru honorer. Untuk guru-guru yang sudah lama mengabdi di sekolah pemerintah, tenaganya diperas, tapi kesejahteraannya diabaikan. Tapi ketika mereka hendak diselesaikan melalui jalur CPNS, ternyata banyak dari mereka—karena kelamaan mengabdi—usianya sudah di atas 35 tahun. Tidak mungkin diperjuangkan melalui mekanisme CPNS. Maka dilahirkanlah seleksi ASN PPPK,” urai Dr Muhdi.
Dr Muhdi menambahkan, munculnya masalah PPPK ini dilatarbelakangi oleh tidak adanya kebijakan politik pemerintah daerah untuk benar-benar menuntaskan kekuarangan guru. Ketika pusat sudah meminta daerah mengusulkan formasi penuh, banyak daerah mengajukan hanya seperempat atau separuh dari kebutuhan guru di daerahnya. Pemerintah pusat—melalui Dirjen—bahkan berkali-kali meminta PGRI untuk bisa pemerintah daerah agar mengusulkan formasi penuh.
“Tidak kurang-kurangnya kami mendesak pemerintah daerah, tapi policy kan tetap ada pada mereka. Mereka tetap mengusulkan formasi sedikit. Jawa Tengah misalnya, kebutuhan guru mencapai 6-7 ribu guru, tapi hanya mengusulkan 1500-an formasi. Seumpama dibuka penuh, meski diisi P1 yang jumlahnya 5 ribu ditambah guru honorer, semua bisa tertampung,” tutur Dr Muhdi.
Lebih lanjut, Dr Muhdi menuturkan, karena alasan otonomi, ada gejala pemerintah daerah untuk tidak mematuhi kebijakan pusat. Mestinya, ketika pemerintah pusat mengambil kebijakan satu juta guru, pemerintah daerah harus menjalankannya secara penuh.
“Masak pemerintah pusat tidak bisa menekan pemerintah daerah,” tandas Dr Muhdi.
Kendati demikian, Dr Muhdi memastikan menangkap dan menerima aspirasi yang dibawa para guru kebutuhan khusus dari Kabupaten Batang. Dr Muhdi berjanji akan terus berjuang dan akan meneruskan aspirasi ini ke PB PGRI maupun pada pemerintah atau institusi terkait.
Hadir dalam kesempatan tersebut Wakil Ketua PGRI Jateng Dr Bunyamin, Wakil Ketua PGRI Jateng Adi Prasetyo MH, Wakil Sekretaris Umum Dr Sapto Budoyo MH, Kabiro Agung Purwoko MPd, Kabiro Kerjasama Imron Rosyadi MPd, Kabiro Komunikasi dan Informasi Dr Agus Wismanto MPd. (za/wis)